# PARA PEMIMPIN YANG MENYESATKAN #
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah para imam yang menyesatkan.” (HR. Ahmad).[1]
Para imam yang menyesatkan yang menyeru manusia kepada pintu-pintu neraka, sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadis Hudzaifah:
قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا
“Aku berkata, “Apakah setelah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?”
Beliau menjawab, “Iya, yaitu akan ada para penyeru kepada pintu-pintu Jahannam, siapa yang mengikutinya akan dilemparkan ke dalamnya.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sifatkan mereka kepada kami?”
Beliau menjawab, “Mereka dari kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita (umat Islam pen.).” (HR. Bukhari dan Muslim).[2]
Terlebih di zaman ini, para imam yang menyesatkan amat banyak, terutama kaum Liberal dan antek-anteknya, yang berusaha merusak aqidah Islam dan melontarkan syubhat-syubhat yang dahsyat dengan berbagai macam cara, semoga Allah menghancurkan mereka dan memberikan sanksi yang setimpal dengan kejahatan mereka.
# Cara Mereka Menyesatkan Manusia #
Saudaraku, sesungguhnya para imam kesesatan itu mempunyai banyak cara dalam menyesatkan manusia. Di antara caranya adalah yang dituturkan oleh Imam Asy-Syathibi beliau berkata, “Setiap orang yang mengikuti mutasyabihat atau merubah-rubah manath[3] atau menafsirkan ayat-ayat dengan penafsiran yang tidak pernah dipahami oleh salafus shalih atau berpegang dengan hadis-hadis yang lemah atau memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan perbuatan atau perkataan atau keyakinan yang sesuai dengan seleranya, maka ia tidak akan pernah beruntung. Barangsiapa yang ingin menyelamatkan dirinya hendaklah ia tatsabbut (memeriksa dengan teliti) sampai menjadi jelas baginya jalan kebenaran. Namun, barangsiapa yang meremehkan masalah ini, ia akan dilemparkan oleh hawa nafsu dalam jurang yang tidak ada tempat keselamatan kecuali dengan apa yang Allah kehendaki.”[4]
Perkataan Imam Asy-Syathibi di atas menyebutkan beberapa cara yang digunakan para imam yang menyesatkan dalam mengelabui manusia, yaitu:
#Pertama, Mengikuti mutasyabihat
mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak ada yang mengetahui maknanya kecuali Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ
“..Adapun orang-orang yang hatinya condong (kepada kesesatan) mereka mengikuti yang mutasyabih karena menginginkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah..” (QS. Ali Imran : 7).
Contohnya adalah ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat-sifat Allah Ta’ala, dimana dari sisi maknanya telah diketahui dalam bahasa Arab, namun dari sisi hakikat dan tata caranya tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti sifat yad yang artinya tangan, dari sisi sini maknanya jelas namun hakikat bentuknya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ahlussunnah menetapkan sifat tangan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengatakan bahwa tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak serupa dengan tangan makhluk-Nya.
Akan tetapi kelompok Jahmiyah dan Mu’tazilah mengikuti mutasyabihat, mereka tidak dapat menerima ayat-ayat seperti ini karena mereka memikirkan hakikat dan bentuk tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan akal mereka yang lemah, lalu menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya dengan mengatakan, “Bila Allah mempunyai tangan berarti Allah berupa jasad renik yang membutuhkan satu sama lainnya.” Hasilnya mereka menolak sifat ini dan menta’wil maknanya dengan mengatakan bahwa maksud tangan adalah nikmat dan sebagainya. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
Sebagian ulama menafsirkan makna mutasyabihat bahwa ia adalah ayat yang mengandung beberapa makna dan tidak mungkin menentukan salah satu maknanya kecuali dengan merujuk ayat yang muhkam.[5] Makna ini pun benar dan tidak bertentangan dengan ayat di atas, karena hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui maknanya dan makna yang benar telah Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan dalam ayat-ayat yang muhkam. Oleh karena itu, sikap yang benar terhadap ayat-ayat mutsyabihat adalah dengan mengembalikannya kepada ayat-ayat yang muhkam bila ada, dan bila tidak ada maka tetap mengimaninya tanpa bertanya tata caranya. Wallahu a’lam.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun tata cara para shahabat, tabi’in dan para ulama hadis seperti Asy-Syafi’I, Ahmad, Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Al-Bukhari dan lainnya adalah mereka mengembalikan dalil yang mutsyabih kepada dalil yang muhkam. Mereka mengambil dalil yang muhkam untuk menjelaskan dalil yang mutasyabih, sehingga dalil yang mutasyabih tersebut sepakat dengan yang muhkam, dan nash pun saling berpadu membenarkan satu sama lainnya, karena semuanya berasal dari Allah, dan yang berasal dari Allah tidak mungkin terjadi padanya kontradiksi.”[6]
Contohnya adalah kata yad, dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna yaitu tangan, nikmat, dan lainnya, sehingga kaum Asy-’Ariyah menolak sifat tangan dengan alasan bahwa makna yad dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna. Padahal bila kita melihat redaksi ayat yang muhkam tampak dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah tangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَآءُ
“Bahkan kedua tangan Allah terbuka, Dia berinfak sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al Maidah: 64).
Dalam ayat ini disebutkan kata yad dengan bentuk mutsanna (dua), sedangkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala amatlah banyak tidak hanya dua, sebagaimana dalam ayat,
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللهِ لاَتُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidak akan dapat menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34).
#Kedua, Mengubah-ubah Manath
Manath adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau dengan kata lain alasan pensyariatan. Contohnya illat mengenai diharamkannya arak adalah karena memabukkan, illat diharamkannya zina adalah karena merusak garis keturunan dan seterusnya. Merubah-rubah manath adalah sifat pengikut hawa nafsu yang bertujuan membenarkan hawa nafsunya. Cara ini amat mengelabui orang awam karena mereka akan menganggap benar apa yang dilakukan oleh orang yang mengubah-ubah tersebut.
Seperti perkataan sebagian orang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa hari senin illat-nya adalah dalam rangka merayakan hari kelahirannya, dengan bukti ketika beliau ditanya tentang puasa hari senin beliau menjawab bahwa itu adalah hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bila kita perhatikan sekilas tampak benar namun bila kita perhatikan secara cermat dan kita bandingkan dengan pelaksanaan perayaan maulid yang ada di zaman ini, akan sangat jelas kebatilan pendapat ini. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya dengan cara berpuasa sedangkan mereka melaksanakannya dengan ritual-ritual yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini bila kita menerima bahwa illat-nya adalah merayakan kelahirannya. Namun illat ini tidak benar, karena dijelaskan dalam hadis lain bahwa hari senin dan kamis adalah hari ditampakkan amal-amal shalih kepada Allah Ta’ala sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Amal-amal ditampakkan pada hari senin dan kamis, maka aku suka amalanku ditampakkan dalam keadaan aku berpuasa” (HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata, “Hadis hasan gharib”)
Perbuatan merubah-rubah manath sering kali dilakukan kaum liberal di zaman ini untuk merusak citra Islam, seperti perkataan mereka bahwa tujuan memotong tangan pencuri adalah agar pelakunya tidak mencuri lagi, jadi bisa diganti dengan cara lain seperti diberi uang atau dipenjara dan lainnya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentulah orang yang paling mengetahui makna-makna ayat Alquran dan beliau mempraktikan ayat potong tangan dengan cara memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangannya. Ini adalah sanksi yang paling tepat agar mereka jera dan meninggalkan pencurian. Kenyataan membuktikan bahwa pencuri yang sanksinya sebatas dipenjara, tetap tidak jera dan kembali melakukan pencurian lagi. Lalu bagaimana jadinya bila diberi uang. Allahul musta’an.
#Ketiga: Menafsirkan Ayat dengan Tafsir yang Tidak Pernah Dipahami Oleh Salafus Shalih.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memuji tiga generasi pertama dalam sabdanya,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku kemudian setelahnya kemudian setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Terutama generasi para shahabat yang telah dipuji oleh Allah secara khusus dalam kitab-Nya, dan menjadikan mereka sebagai parameter hidayah:
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْل مَآءَامَنتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِن تَوَلَّوْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ
“Jika mereka beriman kepada apa yang kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka akan senantiasa berada dalam perselisihan..” (QS. Al-Baqarah: 137)
Kata ganti “kamu” dalam ayat ini adalah untuk para shahabat, artinya bila mereka beriman seperti apa yang diimani oleh para shahaba,t maka mereka akan mendapat hidayah dan bila tidak, maka mereka akan senantiasa berselisih. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah benar dan sesuai dengan kenyataan yang kita saksikan, dimana setiap keyakinan yang menyimpang dari keyakinan para shahabat senantiasa dalam perselisihan dan permusuhan. Sebagian mereka menganggap sesat sebagian lainnya bahkan saling mengkafirkan.
Para imam kesesatan selalu berpaling dari pemahaman para shahabat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka akan menafsirkan ayat-ayat atau hadis sesuai dengan hawa nafsu dan pemahamannya yang dangkal. Lebih dari itu bahkan mereka menganggap bahwa generasi khalaf (belakangan) dianggap lebih paham tentang ayat-ayat Allah dari pada generasi salaf. Mereka menuduh bahwa salaf terlalu terkstual dan tidak kontekstual sebagaimana yang dinyatakan oleh gembong JIL di negeri ini.
Secara akal saja, tidak mungkin generasi yang paling fasih yang langsung menyaksikan turunnya Alquran dan melihat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkannya akan lebih bodoh dari kaum liberalis yang dungu itu. Mungkinkah Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji para shahabat dan menyatakan keridlaan-Nya sebagaimana dalam surat At-Taubah ayat 100 dan ternyata kaum liberalis lebih tertunjuki dari mereka?!
Atau mungkinkah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya, namun ternyata kaum liberalis itu lebih baik dari tiga generasi yang utama?! Atau mungkinkah para ulama akan bersepakat di atas kesesatan tatkala mereka semua bersepakat bahwa para shahabat adalah sebaik-baiknya generasi dalam ilmu, pemahaman, dan agama, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa umatnya tidak mungkin bersepakat di atas kesesatan?!!
#Keempat, Berpegang Kepada Dalil-Dalil yang Lemah.
Dalil yang lemah hanya menghasilkan zhan (prasangka) yang marjuh (dugaan yang lemah) dan dugaan yang lemah tidak boleh dipakai dengan kesepakatan seluruh ulama. Oleh karena itu, seluruh ulama bersepakat mengharamkan berdalil dengannya dalam masalah aqidah, hukum, maupun fadlilah amal.
Berdalil dengan dalil yang lemah biasa digunakan di masyarakat yang dikuasai oleh ketidaktahuan terhadap ilmu hadis. Para imam kesesatan akan berusaha menyembunyikan kelemahan dalil yang ia pakai dengan berbagai macam upaya. Seperti mengklaim secara dusta bahwa hadis itu dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, atau salah satunya padahal tidak demikian, atau membawakan sebuah lafadz yang lemah namun ada lafadz lain yang shahih akan tetapi lafadz yang shahih tersebut tidak terdapat padanya sesuatu yang dapat mendukung pemikirannya. Lalu ia gunakan lafadz yang lemah dan menempelkannya kepada lafadz hadis yang shahih.
Contohnya adalah berdalil dengan kisah hadis orang buta yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memohon agar di doakan kesembuhan untuk matanya lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan doa kepadanya,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan melalui Nabi-Mu Muhammad seorang nabi rahmat. Sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Rabbku untuk memenuhi kebutuhanku ini, ya Allah berilah syafaatnya padaku.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadis ini dijadikan dalil bolehnya bertawassul melalui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal hadis ini tidak menunjukkan kepada pemahaman tersebut, karena hadis ini terjadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup dan dilakukan di hadapan beliau. Mereka berargumentasi dengan sebuah lafadz dalam salah satu lafadz dari hadis tersebut yaitu tambahan, “Jika ada hajat, lakukanlah seperti itu lagi.” Tambahan inilah yang diinginkan oleh orang yang membela bolehnya tawassul melalui Nabi setelah wafatnya, karena lafadz ini menunjukkan bolehnya melakukan doa tersebut kapan ada keperluan walaupun beliau telah tiada. Tambahan ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, sedangkan Syu’bah bin Hajjaj meriwayatkan dengan tanpa tambahan tersebut. Syu’bah jauh lebih tsiqah (terpercaya) dari Hammad bin Salamah sehingga tambahan tersebut dihukumi syadz oleh para ulama yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang berlawanan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah dan syadz adalah salah satu macam hadis lemah.
#Kelima, Memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan sebuah perbuatan atau perkataan atau keyakinan.
Memahami dengan pemahaman yang dangkal kadang terjadi disebabkan oleh kemalasan untuk mencari dalil lain yang menjelaskannya atau ketidaktahuan praktik para shahabat terhadap dalil tersebut atau lemahnya pengetahuan dia terhadap kaidah-kaidah ushul. Terkadang akibat hawa nafsu yang menjadikan ia memahaminya secara membabi buta tanpa menelitinya lebih lanjut.
Contoh kasus ini amatlah banyak terutama di kalangan ahlul bid’ah yang berusaha mempertahankan bid’ah-nya mati-matian. Seperti orang yang membuat lafadz-lafadz shalawat tertentu, berdalil dengan keumuman hadis mengenai keutamaan bershalawat. Demikian juga dengan orang yang merayakan maulid, berdalil dengan ayat yang menunjukkan perintah untuk bergembira dengan karunia dan nikmat Allah dan lain sebagainya. Apabila kita perhatikan secara teliti sebetulnya dalil tersebut tidak mendukung apa yang mereka inginkan.
Ditulis oleh Ustadz Badrusalam, Lc.
Artikel www.cintasunnah.com
[1] Al musnad no 27525 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Jami’ no 1551.
[2] Bukhari no 7084 dan Muslim 3/1475 no 1847.
[3] Manath adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau dengan kata lain alasan pennsyari’atan, contohnya illat diharamkannya arak adalah memabukkan, illat diharamkannya zina adalah merusak keturunan dan seterusnya.
[4] Lihat ilmu ushul bida’ hal 141.
[5] Lihat taisir Al Karimirrahman hal 101.
[6] I’lamul muwaqi’in hal 437 tahqiq Raid bin Shabri.
**************************
Seringkali kita dengar perkataan:
"Dalam masalah agama, yg penting kita punya imam dalam pendapat ini, sehingga di akhirat nanti, apabila pendapat ini salah, maka imam itulah yg akan menanggung salahnya, sehingga dg begitu kita akan aman".
Orang seperti ini, hanya milih enaknya sendiri, kalau masalah pahala pengin dapat juga, tapi giliran masalah dosa ia lempar kepada orang lain, padahal Allah ta'ala telah berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Orang yg berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (Alfaathir: 18)
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ (166) وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ
Ketika para PEMIMPIN yg diikuti itu BERLEPAS DIRI dari para PENGIKUTNYA, (ketika) mereka melihat siksa, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali, berkatalah para pengikut itu: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan BERLEPAS DIRI dari mereka, sebagaimana BERLEPAS DIRI dari kami. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi SESALAN bagi mereka. (Albaqoroh: 166-167)
حَتَّى إِذَا ادَّارَكُوا فِيهَا جَمِيعًا قَالَتْ أُخْرَاهُمْ لِأُولَاهُمْ رَبَّنَا هَؤُلَاءِ أَضَلُّونَا فَآتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَكِنْ لَا تَعْلَمُونَ
Sehingga apabila mereka masuk (ke neraka) semuanya, berkatalah mereka yg masuk belakangan kepada mereka yg masuk lebih dulu: "Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yg berlipat ganda dari neraka". Allah menjawab: "MASING-MASING akan mendapat SIKSAAN yg berlipat ganda, namun kalian tidak mengetahui". (Al-A'roof: 38)
Dan masih banyak lagi ayat senada dg hal ini, yg intinya kita nantinya akan mempertanggung jawabkan amalan kita sendiri-sendiri, maka hendaklah kita berhati-hati, dan ikutlah dalil kemana pun ia menuntunmu!
Semoga Allah menunjuki kita jalan yg lurus, dan memberikan taufiqNya kepada kita semua untuk meraih ridho dan firdausNya... amin.
oleh Ustadz Musyaffa ad-Dariny
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah para imam yang menyesatkan.” (HR. Ahmad).[1]
Para imam yang menyesatkan yang menyeru manusia kepada pintu-pintu neraka, sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadis Hudzaifah:
قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا
“Aku berkata, “Apakah setelah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?”
Beliau menjawab, “Iya, yaitu akan ada para penyeru kepada pintu-pintu Jahannam, siapa yang mengikutinya akan dilemparkan ke dalamnya.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sifatkan mereka kepada kami?”
Beliau menjawab, “Mereka dari kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita (umat Islam pen.).” (HR. Bukhari dan Muslim).[2]
Terlebih di zaman ini, para imam yang menyesatkan amat banyak, terutama kaum Liberal dan antek-anteknya, yang berusaha merusak aqidah Islam dan melontarkan syubhat-syubhat yang dahsyat dengan berbagai macam cara, semoga Allah menghancurkan mereka dan memberikan sanksi yang setimpal dengan kejahatan mereka.
# Cara Mereka Menyesatkan Manusia #
Saudaraku, sesungguhnya para imam kesesatan itu mempunyai banyak cara dalam menyesatkan manusia. Di antara caranya adalah yang dituturkan oleh Imam Asy-Syathibi beliau berkata, “Setiap orang yang mengikuti mutasyabihat atau merubah-rubah manath[3] atau menafsirkan ayat-ayat dengan penafsiran yang tidak pernah dipahami oleh salafus shalih atau berpegang dengan hadis-hadis yang lemah atau memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan perbuatan atau perkataan atau keyakinan yang sesuai dengan seleranya, maka ia tidak akan pernah beruntung. Barangsiapa yang ingin menyelamatkan dirinya hendaklah ia tatsabbut (memeriksa dengan teliti) sampai menjadi jelas baginya jalan kebenaran. Namun, barangsiapa yang meremehkan masalah ini, ia akan dilemparkan oleh hawa nafsu dalam jurang yang tidak ada tempat keselamatan kecuali dengan apa yang Allah kehendaki.”[4]
Perkataan Imam Asy-Syathibi di atas menyebutkan beberapa cara yang digunakan para imam yang menyesatkan dalam mengelabui manusia, yaitu:
#Pertama, Mengikuti mutasyabihat
mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak ada yang mengetahui maknanya kecuali Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ
“..Adapun orang-orang yang hatinya condong (kepada kesesatan) mereka mengikuti yang mutasyabih karena menginginkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah..” (QS. Ali Imran : 7).
Contohnya adalah ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat-sifat Allah Ta’ala, dimana dari sisi maknanya telah diketahui dalam bahasa Arab, namun dari sisi hakikat dan tata caranya tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti sifat yad yang artinya tangan, dari sisi sini maknanya jelas namun hakikat bentuknya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ahlussunnah menetapkan sifat tangan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengatakan bahwa tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak serupa dengan tangan makhluk-Nya.
Akan tetapi kelompok Jahmiyah dan Mu’tazilah mengikuti mutasyabihat, mereka tidak dapat menerima ayat-ayat seperti ini karena mereka memikirkan hakikat dan bentuk tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan akal mereka yang lemah, lalu menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya dengan mengatakan, “Bila Allah mempunyai tangan berarti Allah berupa jasad renik yang membutuhkan satu sama lainnya.” Hasilnya mereka menolak sifat ini dan menta’wil maknanya dengan mengatakan bahwa maksud tangan adalah nikmat dan sebagainya. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
Sebagian ulama menafsirkan makna mutasyabihat bahwa ia adalah ayat yang mengandung beberapa makna dan tidak mungkin menentukan salah satu maknanya kecuali dengan merujuk ayat yang muhkam.[5] Makna ini pun benar dan tidak bertentangan dengan ayat di atas, karena hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui maknanya dan makna yang benar telah Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan dalam ayat-ayat yang muhkam. Oleh karena itu, sikap yang benar terhadap ayat-ayat mutsyabihat adalah dengan mengembalikannya kepada ayat-ayat yang muhkam bila ada, dan bila tidak ada maka tetap mengimaninya tanpa bertanya tata caranya. Wallahu a’lam.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun tata cara para shahabat, tabi’in dan para ulama hadis seperti Asy-Syafi’I, Ahmad, Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Al-Bukhari dan lainnya adalah mereka mengembalikan dalil yang mutsyabih kepada dalil yang muhkam. Mereka mengambil dalil yang muhkam untuk menjelaskan dalil yang mutasyabih, sehingga dalil yang mutasyabih tersebut sepakat dengan yang muhkam, dan nash pun saling berpadu membenarkan satu sama lainnya, karena semuanya berasal dari Allah, dan yang berasal dari Allah tidak mungkin terjadi padanya kontradiksi.”[6]
Contohnya adalah kata yad, dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna yaitu tangan, nikmat, dan lainnya, sehingga kaum Asy-’Ariyah menolak sifat tangan dengan alasan bahwa makna yad dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna. Padahal bila kita melihat redaksi ayat yang muhkam tampak dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah tangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَآءُ
“Bahkan kedua tangan Allah terbuka, Dia berinfak sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al Maidah: 64).
Dalam ayat ini disebutkan kata yad dengan bentuk mutsanna (dua), sedangkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala amatlah banyak tidak hanya dua, sebagaimana dalam ayat,
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللهِ لاَتُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidak akan dapat menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34).
#Kedua, Mengubah-ubah Manath
Manath adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau dengan kata lain alasan pensyariatan. Contohnya illat mengenai diharamkannya arak adalah karena memabukkan, illat diharamkannya zina adalah karena merusak garis keturunan dan seterusnya. Merubah-rubah manath adalah sifat pengikut hawa nafsu yang bertujuan membenarkan hawa nafsunya. Cara ini amat mengelabui orang awam karena mereka akan menganggap benar apa yang dilakukan oleh orang yang mengubah-ubah tersebut.
Seperti perkataan sebagian orang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa hari senin illat-nya adalah dalam rangka merayakan hari kelahirannya, dengan bukti ketika beliau ditanya tentang puasa hari senin beliau menjawab bahwa itu adalah hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bila kita perhatikan sekilas tampak benar namun bila kita perhatikan secara cermat dan kita bandingkan dengan pelaksanaan perayaan maulid yang ada di zaman ini, akan sangat jelas kebatilan pendapat ini. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya dengan cara berpuasa sedangkan mereka melaksanakannya dengan ritual-ritual yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini bila kita menerima bahwa illat-nya adalah merayakan kelahirannya. Namun illat ini tidak benar, karena dijelaskan dalam hadis lain bahwa hari senin dan kamis adalah hari ditampakkan amal-amal shalih kepada Allah Ta’ala sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Amal-amal ditampakkan pada hari senin dan kamis, maka aku suka amalanku ditampakkan dalam keadaan aku berpuasa” (HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata, “Hadis hasan gharib”)
Perbuatan merubah-rubah manath sering kali dilakukan kaum liberal di zaman ini untuk merusak citra Islam, seperti perkataan mereka bahwa tujuan memotong tangan pencuri adalah agar pelakunya tidak mencuri lagi, jadi bisa diganti dengan cara lain seperti diberi uang atau dipenjara dan lainnya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentulah orang yang paling mengetahui makna-makna ayat Alquran dan beliau mempraktikan ayat potong tangan dengan cara memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangannya. Ini adalah sanksi yang paling tepat agar mereka jera dan meninggalkan pencurian. Kenyataan membuktikan bahwa pencuri yang sanksinya sebatas dipenjara, tetap tidak jera dan kembali melakukan pencurian lagi. Lalu bagaimana jadinya bila diberi uang. Allahul musta’an.
#Ketiga: Menafsirkan Ayat dengan Tafsir yang Tidak Pernah Dipahami Oleh Salafus Shalih.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memuji tiga generasi pertama dalam sabdanya,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku kemudian setelahnya kemudian setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Terutama generasi para shahabat yang telah dipuji oleh Allah secara khusus dalam kitab-Nya, dan menjadikan mereka sebagai parameter hidayah:
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْل مَآءَامَنتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِن تَوَلَّوْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ
“Jika mereka beriman kepada apa yang kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka akan senantiasa berada dalam perselisihan..” (QS. Al-Baqarah: 137)
Kata ganti “kamu” dalam ayat ini adalah untuk para shahabat, artinya bila mereka beriman seperti apa yang diimani oleh para shahaba,t maka mereka akan mendapat hidayah dan bila tidak, maka mereka akan senantiasa berselisih. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah benar dan sesuai dengan kenyataan yang kita saksikan, dimana setiap keyakinan yang menyimpang dari keyakinan para shahabat senantiasa dalam perselisihan dan permusuhan. Sebagian mereka menganggap sesat sebagian lainnya bahkan saling mengkafirkan.
Para imam kesesatan selalu berpaling dari pemahaman para shahabat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka akan menafsirkan ayat-ayat atau hadis sesuai dengan hawa nafsu dan pemahamannya yang dangkal. Lebih dari itu bahkan mereka menganggap bahwa generasi khalaf (belakangan) dianggap lebih paham tentang ayat-ayat Allah dari pada generasi salaf. Mereka menuduh bahwa salaf terlalu terkstual dan tidak kontekstual sebagaimana yang dinyatakan oleh gembong JIL di negeri ini.
Secara akal saja, tidak mungkin generasi yang paling fasih yang langsung menyaksikan turunnya Alquran dan melihat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkannya akan lebih bodoh dari kaum liberalis yang dungu itu. Mungkinkah Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji para shahabat dan menyatakan keridlaan-Nya sebagaimana dalam surat At-Taubah ayat 100 dan ternyata kaum liberalis lebih tertunjuki dari mereka?!
Atau mungkinkah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya, namun ternyata kaum liberalis itu lebih baik dari tiga generasi yang utama?! Atau mungkinkah para ulama akan bersepakat di atas kesesatan tatkala mereka semua bersepakat bahwa para shahabat adalah sebaik-baiknya generasi dalam ilmu, pemahaman, dan agama, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa umatnya tidak mungkin bersepakat di atas kesesatan?!!
#Keempat, Berpegang Kepada Dalil-Dalil yang Lemah.
Dalil yang lemah hanya menghasilkan zhan (prasangka) yang marjuh (dugaan yang lemah) dan dugaan yang lemah tidak boleh dipakai dengan kesepakatan seluruh ulama. Oleh karena itu, seluruh ulama bersepakat mengharamkan berdalil dengannya dalam masalah aqidah, hukum, maupun fadlilah amal.
Berdalil dengan dalil yang lemah biasa digunakan di masyarakat yang dikuasai oleh ketidaktahuan terhadap ilmu hadis. Para imam kesesatan akan berusaha menyembunyikan kelemahan dalil yang ia pakai dengan berbagai macam upaya. Seperti mengklaim secara dusta bahwa hadis itu dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, atau salah satunya padahal tidak demikian, atau membawakan sebuah lafadz yang lemah namun ada lafadz lain yang shahih akan tetapi lafadz yang shahih tersebut tidak terdapat padanya sesuatu yang dapat mendukung pemikirannya. Lalu ia gunakan lafadz yang lemah dan menempelkannya kepada lafadz hadis yang shahih.
Contohnya adalah berdalil dengan kisah hadis orang buta yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memohon agar di doakan kesembuhan untuk matanya lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan doa kepadanya,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan melalui Nabi-Mu Muhammad seorang nabi rahmat. Sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Rabbku untuk memenuhi kebutuhanku ini, ya Allah berilah syafaatnya padaku.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadis ini dijadikan dalil bolehnya bertawassul melalui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal hadis ini tidak menunjukkan kepada pemahaman tersebut, karena hadis ini terjadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup dan dilakukan di hadapan beliau. Mereka berargumentasi dengan sebuah lafadz dalam salah satu lafadz dari hadis tersebut yaitu tambahan, “Jika ada hajat, lakukanlah seperti itu lagi.” Tambahan inilah yang diinginkan oleh orang yang membela bolehnya tawassul melalui Nabi setelah wafatnya, karena lafadz ini menunjukkan bolehnya melakukan doa tersebut kapan ada keperluan walaupun beliau telah tiada. Tambahan ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, sedangkan Syu’bah bin Hajjaj meriwayatkan dengan tanpa tambahan tersebut. Syu’bah jauh lebih tsiqah (terpercaya) dari Hammad bin Salamah sehingga tambahan tersebut dihukumi syadz oleh para ulama yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang berlawanan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah dan syadz adalah salah satu macam hadis lemah.
#Kelima, Memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan sebuah perbuatan atau perkataan atau keyakinan.
Memahami dengan pemahaman yang dangkal kadang terjadi disebabkan oleh kemalasan untuk mencari dalil lain yang menjelaskannya atau ketidaktahuan praktik para shahabat terhadap dalil tersebut atau lemahnya pengetahuan dia terhadap kaidah-kaidah ushul. Terkadang akibat hawa nafsu yang menjadikan ia memahaminya secara membabi buta tanpa menelitinya lebih lanjut.
Contoh kasus ini amatlah banyak terutama di kalangan ahlul bid’ah yang berusaha mempertahankan bid’ah-nya mati-matian. Seperti orang yang membuat lafadz-lafadz shalawat tertentu, berdalil dengan keumuman hadis mengenai keutamaan bershalawat. Demikian juga dengan orang yang merayakan maulid, berdalil dengan ayat yang menunjukkan perintah untuk bergembira dengan karunia dan nikmat Allah dan lain sebagainya. Apabila kita perhatikan secara teliti sebetulnya dalil tersebut tidak mendukung apa yang mereka inginkan.
Ditulis oleh Ustadz Badrusalam, Lc.
Artikel www.cintasunnah.com
[1] Al musnad no 27525 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Jami’ no 1551.
[2] Bukhari no 7084 dan Muslim 3/1475 no 1847.
[3] Manath adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau dengan kata lain alasan pennsyari’atan, contohnya illat diharamkannya arak adalah memabukkan, illat diharamkannya zina adalah merusak keturunan dan seterusnya.
[4] Lihat ilmu ushul bida’ hal 141.
[5] Lihat taisir Al Karimirrahman hal 101.
[6] I’lamul muwaqi’in hal 437 tahqiq Raid bin Shabri.
**************************
Seringkali kita dengar perkataan:
"Dalam masalah agama, yg penting kita punya imam dalam pendapat ini, sehingga di akhirat nanti, apabila pendapat ini salah, maka imam itulah yg akan menanggung salahnya, sehingga dg begitu kita akan aman".
Orang seperti ini, hanya milih enaknya sendiri, kalau masalah pahala pengin dapat juga, tapi giliran masalah dosa ia lempar kepada orang lain, padahal Allah ta'ala telah berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Orang yg berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (Alfaathir: 18)
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ (166) وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ
Ketika para PEMIMPIN yg diikuti itu BERLEPAS DIRI dari para PENGIKUTNYA, (ketika) mereka melihat siksa, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali, berkatalah para pengikut itu: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan BERLEPAS DIRI dari mereka, sebagaimana BERLEPAS DIRI dari kami. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi SESALAN bagi mereka. (Albaqoroh: 166-167)
حَتَّى إِذَا ادَّارَكُوا فِيهَا جَمِيعًا قَالَتْ أُخْرَاهُمْ لِأُولَاهُمْ رَبَّنَا هَؤُلَاءِ أَضَلُّونَا فَآتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَكِنْ لَا تَعْلَمُونَ
Sehingga apabila mereka masuk (ke neraka) semuanya, berkatalah mereka yg masuk belakangan kepada mereka yg masuk lebih dulu: "Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yg berlipat ganda dari neraka". Allah menjawab: "MASING-MASING akan mendapat SIKSAAN yg berlipat ganda, namun kalian tidak mengetahui". (Al-A'roof: 38)
Dan masih banyak lagi ayat senada dg hal ini, yg intinya kita nantinya akan mempertanggung jawabkan amalan kita sendiri-sendiri, maka hendaklah kita berhati-hati, dan ikutlah dalil kemana pun ia menuntunmu!
Semoga Allah menunjuki kita jalan yg lurus, dan memberikan taufiqNya kepada kita semua untuk meraih ridho dan firdausNya... amin.
oleh Ustadz Musyaffa ad-Dariny
Tidak ada komentar:
Posting Komentar