Minggu, 28 Desember 2014

Ketika Malas Membelenggu

Malas, hampir tiap orang pernah merasakannya. “Penyakit” ini membuat seseorang enggan melakukan berbagai aktivitas, seperti bekerja, beribadah, menuntut ilmu, dan sebagainya. Tentu, kerugian pun akan dituai, ketika seseorang selalu mengikuti dan memanjakan rasa malasnya. Malas bekerja, akan menjadikan jauh dari rezeki. Malas beribadah, menjauhkan diri dari pahala dan surga-Nya. Malas menuntut ilmu atau belajar agama, akan berbuah kebodohan. Padahal ilmu agama harus senantiasa dipelajari dan dipahami, karena agamalah yang akan menjadi pedoman hidup kita agar bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

*Malas Beribadah

Jika hanya mengikuti hawa nafsu, kita memang lebih suka bersantai-santai. Pun dalam soal ibadah. Untuk melakukan shalat lima waktu saja, terkadang kita ogah-ogahan, apalagi untuk qiyamullail, di saat udara begitu dingin.

Memang grafik keimanan seseorang itu bisa naik dan turun. Ketika grafik keimanan turun itulah, biasanya rasa malas beribadah lebih sering kita alami. Agar lebih bersemangat lagi dalam beribadah, berikut ini ada beberapa kiat yang bisa kita lakukan:


1. Ingat mati. Kita semua pasti akan mati, dan memerlukan bekal untuk sebuah perjalanan yang panjang. Jika sekarang kita tak menggunakan waktu kita untuk banyak beribadah, maka kita akan rugi, karena bekal kita nanti sangat sedikit.

2. Bacalah Al Quran dan as-Sunnah serta terjemahannya, khususnya ayat-ayat yang berisikan janji-janji Allah – ta’ala – bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa. Bila kita hayati, insya Allah ayat-ayat tersebut bisa mengembalikan semangat ibadah kita.

3. Bacalah shirah nabawiyah maupun kisah para sahabat dan para pahlawan Islam. Mereka rela mempertaruhkan harta dan jiwa mereka demi kemuliaan Allah – ta’ala – dan Rasul-Nya. Coba bandingkan keadaan dan perjuangan mereka, dengan keadaan kita saat ini. Tidakkah kita malu, jika berjuang melawan malas saja tak mampu?

4. Kunjungi dan mintalah nasihat kepada orang-orang yang Anda anggap mampu untuk memberikan semangat dan nasihat kepada Anda.

5. Lakukanlah refreshing untuk menghilangkan kejenuhan. Misalnya dengan rihlah ke tempat-tempat yang indah pemandangan alamnya. Buatlah diri Anda rileks. Nikmati pemandangan alam itu, dan ingatlah siapa penciptanya. Sebelum pulang, berjanjilah dalam hati, sekembalinya dari rihlah ini, Anda akan lebih semangat dalam ibadah dan mensyukuri nikmat-Nya.

6. Bila semua cara di atas tak berhasil melibas rasa malas, ada cara terakhir yang bisa dilakukan: paksakan diri saja! Misalnya ketika Anda sedang malas shalat berjamaah ke masjid, ya paksakan saja! Demikian pula ketika malas shalat malam. Awalnya kita mungkin akan merasa berat dan terpaksa, tapi lama-lama insya Allah kita akan bisa menikmatinya dan melakukannya dengan senang hati.

*Malas Bekerja

Pada sebuah kesempatan, Syekh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah (salah seorang murid dari Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani – rahimahullah -) ditanya, “Ada seorang pemuda, ia mampu bekerja tapi enggan bekerja. Bagaimana pendapat Anda?”

Maka berikut ini ringkasan jawaban beliau: pendapatku sama dengan pendapat Ibnu Mas’ud – radhiyallahu ‘anhu -, “melihat seorang pemuda, ia membuatku kagum. Lalu aku bertanya kepada orang-orang mengenai pekerjaannya. Mereka mengatakan bahwa ia tidak bekerja. Seketika itu pemuda tersebut jatuh martabatnya di mataku.”

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Seseorang itu sudah cukup dikatakan sebagai pendosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya.”

Jika seseorang duduk di masjid menyibukkan diri dalam urusan agama, menuntut ilmu agama atau beribadah namun menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya, ia adalah seorang pendosa. Ia tidak paham bahwa bekerja untuk menjaga iffah dirinya, istrinya dan anak-anaknya adalah ibadah.
al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman, membawakan sebuah riwayat dari Umar – radhiyallahu ‘anhu -, “Wahai para pembaca Al Quran (yaitu ahli ibadah), angkatlah kepala kalian, sehingga teranglah jalan. Lalu berlombalah dalam kebaikan. Dan janganlah menjadi beban bagi kaum muslimin.”
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – juga berdoa,
اللهم إني أعوذ بك من الكفر والفقر
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran.”

Maka wajib bagi setiap muslim untuk bekerja, berusaha, bersungguh-sungguh dan tidak menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya. Orang yang hanya duduk diam, ia bukanlah mutawakkil (orang yang tawakal), melainkan ia adalah mutawaakil (orang yang pura-pura tawakal). Ini adalah kemalasan.

Manusia diciptakan di dunia agar mereka dapat bekerja, berusaha dan bersungguh-sungguh. Para nabi pun bekerja, Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhu – pun berdagang. Orang yang berpendirian bahwa duduk diam tanpa bekerja adalah tawakal, kemungkinan pertama ia memiliki pemahaman agama yang salah, kemungkinan kedua ia adalah orang malas yang gemar mempercayakan urusannya pada orang lain.

Kepada orang yang demikian kami nasihatkan, perbaikilah niat Anda dan carilah penghasilan yang halal, bertakwalah kepada Allah dan tetap berada dalam ketaatan. Bersemangatlah untuk menghadiri perkumpulan penuntut ilmu dan menghadiri majelis ilmu dengan tanpa menelantarkan orang yang menjadi tanggungan Anda. Orang yang inginnya meminta-meminta dari orang lain, Allah akan membukakan baginya pintu kefakiran. Orang yang bekerja, dialah orang yang kaya. Karena kekayaan hakiki bukanlah harta, melainkan kekayaan jiwa. Orang yang kaya jiwanya tidak gemar meminta-minta kepada orang lain. (Diringkas dari Fatawa Syaikh Masyhur Hasan Salman)

*Malas Menuntut Ilmu

Dari Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhu -, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Semua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (Riwayat Bukhari dan lainnya)

Banyak di antara manusia yang tidak menggunakan waktu sehat dan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya, misalnya untuk belajar Islam atau menimba ilmu syar’i. Padahal malas menuntut ilmu syar’i akan membuahkan kebodohan. Bodoh dalam agama sangat berbahaya.

Yang paling membahayakan, menyebabkan seseorang tidak mengetahui mana yang halal dan yang haram, mana perintah dan larangan. Terkadang, mereka mengerjakan sesuatu yang haram, namun mereka menyangka itu justru amal ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah – ta’ala -. Mereka beragama atas dasar ikut-ikutan saja.

Orang yang malas menuntut ilmu syar’i, tidak mau mendengar dan memahami Al Quran dan sunnah, dan menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Demikianlah sebagaimana firman Allah – ta’ala -,
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (al-Furqan: 43-44)

Bahkan kebodohan itu bisa mengantarkan ke neraka, sebagaimana firman-Nya,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 179)

Dengan mengetahui bahaya bodoh dalam agama, tentu kita harus bisa menebas rasa malas menuntut ilmu. Selain itu, saat ini ilmu semakin mudah kita dapatkan, tidak hanya melalui kajian langsung, tapi juga lewat VCD, radio, buku-buku, majalah, dan sebagainya.

Terakhir, mari kita selalu berlindung kepada Allah – ta’ala – dari sifat lemah dan malas.
Ada satu doa yang diajarkan nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, yang selalu beliau wiridkan dua kali sehari, di saat pagi dan sore. Doa itu adalah:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa sedih dan duka, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan penakut, aku berlindung kepada-Mu dari beban utang dan penindasan orang.” (***)

Sumber: Rubrik Lentera, Majalah Nikah Sakinah Vol. 10 No. 5
http://majalahsakinah.com

1 komentar:

  1. Ammi Aac menulis:

    Sahabatku.....
    Saat engkau futur dari Manhaj al-haq ini setelah nikmat hidayah menyapamu, kemudian engkau melepaskannya seperti engkau melepaskan pakaianmu; boleh jadi engkau akan merasa "bebas" dan "bahagia" dengan dunia keawamanmu yang penuh hura-hura tanpa sekat-sekat pembatas dalam agama.

    Namun... Tidakkah engkau sadari, pada saat yang sama engkau sejatinya telah menjual akhiratmu dengan harga yang sedikit. Engkau telah gadaikan keselamatan hakikimu demi kebahagiaan semu yang bahkan engkau sendiri tak mengerti kebahagiaan macam apa itu.

    Sahabatku.....
    Futur itu boleh. Yakni futur dalam beramal kebajikan yang tidak berhukum wajib. Agama kita pun memahami hal ini. Namun, ada beberapa batasan yang mesti diperhatikan:

    1. Futur sementara waktu dari amal kebajikan tidak boleh menyeretmu menuju dosa dan kemaksiatan.

    Cukuplah engkau "istirahat sejenak" dari amal-amal kebajikan yang tidak bersifat wajib; namun jangan engkau ganti dengan warna kelam dosa dan kejelekan.

    Misalnya, engkau sedang futur, malas membaca Al-Qur'an dan sholat-sholat sunnah. Maka cukuplah itu saja. Jangan engkau beralih kepada musik, hura-hura yang kebablasan, atau hal-hal yang tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang mengenal ilmu sunnah.

    2. Futur sesaat boleh. Tapi jangan kelamaan. Jangan keterusan. Saat futur, engkau ingin sedikit santai menikmati hidup, insyaAllah tak masalah.

    Tapi jangan sampai keblinger dengan kenikmatan hidup yang semu. Segeralah bangkit... Mari berbenah... Menata hati, menghidupkan niat ikhlas... Semangat lagi... Beramal lagi. Karena, betapapun dan seperti apapun kondisi hidup kita, kita tetap harus berbekal demi hidup setelah mati. Kehidupan yang abadi.

    3. Futur sebentar boleh. Tapi jangan sampai futur itu mengarah pada futur manhaji.

    Jangan sampai isbal lagi, musikan lagi, pacaran lagi, bahkan berkubang bid'ah lagi. Mahkota Sunnah telah terlepas dari kepala. Sungguh betapa merugi.

    Pandai-pandailah membawa diri. Pintar-pintarlah melihat apa yang terbaik buat dirimu sendiri, untuk hari ini dan hari nanti.

    Misalnya, jadwal ngaji yang cuma seminggu sekali berbenturan dengan jadwal futsal bareng teman-teman; maka di sinilah hati dan imanmu diuji. Apakah engkau akan memilih akhiratmu, ataukah duniamu? Sesekali mengorbankan ngaji demi futsal, mungkin masih bisa dimengerti. Tapi bila selalu dan seterusnya seperti itu?? Tidakkah engaku takut akan mati hatimu??

    Mari, Kawan...
    Aku mengajak diri pribadi ini, dan juga mengajakmu, untuk kembali ke jalan Allah. Kembali bermajelis ilmu. Kembali pada cahaya iman yang kian hari kian redup.

    Usia kian berkurang jatahnya. Kita tidak pernah tahu, besok atau lusa, masihkah raga kita bernyawa.

    Saat hari berpulang itu tiba, tak ada yang kita bawa kecuali selembar kain kafan saja. Dimanakah teman-teman yang dulu berhura-hura bersama kita?? Bahkan, bisa jadi, mereka tak menitikkan airmata atas kepergian kita.

    Lihatlah masjid itu yang sudah lama tak kau kunjungi. Lihatlah mushaf itu yang sudah lama tak kau sentuh. Lihatlah tumpukan literatur itu yang sudah lama terbengkalai. Sudah terlalu lama engkau "hilang".......

    Kemanakah hatimu, Kawan?

    Mumpung sinar itu belum padam. Mari kita hidupkan kembali dengan siraman ilmu dan iman.

    Uhibbukum fillah.......
    Barakallahu fiikum.

    https://www.facebook.com/501349156657908

    BalasHapus