Soal:
Sering-seringnya kami mendengar kata, ‘Aqidah orang itu di
pertanyakan!’ atau ‘Wah..aqidah orang itu tidak beres!’ Sebenarnya yang
dimaksud dengan aqidah itu apa? Dan aqidah yang beres itu yang
bagaimana? Harap di jelaskan! [Jember]
Jawab:
Aqidah menurut bahasa berasal dari kata Al-‘Aqdu yang berarti ikatan dan At-Tautsîqu yang berarti kepercayaan/keyakinan kuat.
Sedang menurut istilah, aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya.
# Tiga Penopang
Agama kita ini tegak diatas tiga penopang, yaitu; Aqidah yang shahih [benar], ibadah yang masyrû’ [disyariatkan], dan akhlaq yang fâdhilah [mulia lagi utama].
Aqidah yang shahih adalah aqidah As-Salafush Shalih. Sedang As-Salafus Shalih sendiri adalah para shahabat yang mulia dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan cara yang baik.
Ibadah yang masyrû’ adalah ibadah yang tegak diatas dalil yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih dan bukan ibadah yang dibuat-buat [bid’ah].
Sedang Akhlak yang fâdhilah adalah semua budi pekerti yang mulia yang syariat menyeru kepadanya, mendorong untuk melakukannya dan memerintahkan untuk menerapkannya.
Tiga masalah diatas bukanlah hanya sekedar pengetahuan umum belaka tetapi ia adalah sebab-sebab keselamatan didunia dan akhirat dan merupakan jalan yang menghubungkan kepada Allah Ta’ala.
# Inilah Aqidah Kita
[1]. Beriman kepada Allah Ta’ala, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada Qadar baik dan buruk.
[2]. Diantara bentuk keimanan kepada Allah Ta’ala adalah beriman kepada apa yang ia sifatkan atas diri-Nya sebagaimana yang terdapat didalam Kitab-Nya dan apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam tanpa tahrif [merubah lafadh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya], tanpa ta’thil [menghilangkan dan menafikkan sifat-sifat Allah Ta’ala atau mengingkari seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah Ta’ala.], tanpa takyif [yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan, ‘Bagaimana sifat Allah itu?’], tanpa tamtsil [mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya]. Bahkan sebaliknya kita beriman bahwa Allah tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Kita tidak menafikkan apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya, dan kita tidak menyerupakan-Nya dengan satupun dari makhluk-Nya.
[3]. Al-Qur`an adalah kalamullah yang diturunkan dari sisi-Nya dan Al-Qur`an bukanlah makhluk. Al-Qur`an berasal dari-Nya dan kepada-Nya akan kembali.
[4]. Diantara bentuk beriman kepada hari Akhir adalah beriman kepada apa yang akan terjadi setelah kematian berupa fitnah kubur, siksa dan kenikmatannya, kebangkitan setelah kematian, beriman kepada adanya Al-Haudh [telaga air yang turun dari sungai surga pada hari kiamat yang diperuntukkan bagi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam], Al-Mizan [timbangan untuk menimbang amalan hamba-Nya], Ash-Shirath [jembatan yang bentangkan di atas Neraka Jahannam yang akan dilewati ummat manusia], Surga dan Neraka.
[5]. Iman itu mencakup perkataan dan perbuatan. Bahwa iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiyatan.
[6] Kita tidak menvonis kafir kepada seorang muslim yang melakukan kemaksiyatan sekalipun ia melakukan dosa besar.Namun sebaliknya kita berkata, ‘Ia adalah orang yang kurang imannya[Nâqishul Iman]’ atau kita katakan, ‘Ia beriman dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besar yang ia lakukan. Barangsiapa yang bertaubat maka Allah akan memberikan taubat kepada-Nya. Dan barangsiapa yang mati tanpa bertaubat [sedang ia seorang muslim] maka ia berada dibawah kehendak Allah Ta’ala, jika Allah mau maka Allah mengazabnya dan jika Allah mau maka Allah mengampuninya.
[7]. Kita mencintai shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam beserta Ahlul Baitnya. Kita menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara para mereka. Kita beriman bahwa mereka memiliki keutamaan dan amal-amal shalih yang mana hal itu dapat menghapuskan kesalahan yang muncul dari mereka. Dan siapa saja menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu beriman kepadanya dan mati dalam keadaan seperti itu maka ia lebih utama dari semua Tabi’in yang datang setelahnya.
[8]. Kita membenarkan karamah para wali-wali dan kejadian luar biasa yang terjadi di tangan mereka. Sedang wali itu adalah setiap yang beriman lagi bertakwa. Dan kita mewaspadai wali-wali syetan serta kejadian luar biasa yang terjadi ditangan mereka yang bersumber dari tipu daya syetan. Sedang mereka itu mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman.
[9]. Kita berpegang teguh pada As-Sunnah dan kita mengajarkannya kepada segenap kaum muslimin. Kita memerangi bid’ah dan menjelaskan hakikatnya sehingga kaum muslimin dapat mewaspadainya.
[10].Kita tidak memberikan kesaksian kepada seseorangpun bahwa ia berada di syurga dan begitu juga kita tidak menvonis kepada seseorangpun bahwa ia adalah ahli neraka kecuali apa yang dikhabarkan oleh nash-nash syariat berupa persaksian masuk syurga atau masuk neraka.
[11].Kita berharap bagi orang-orang yang berbuat baik dari kaum muslimin mati dalam keadaan Husnul Khâtimah. Dan kita mengkhawatirkan pelaku kemaksiyatan dari kaum muslimin mati dalam keadaan Su`ul Khâtimah.
[12]. Surga dan Neraka adalah dua makhluk yang tidak akan binasa. Syurga adalah tempat bagi wali-wali Allah sedang neraka adalah balasan untuk musuh-musuh-Nya.
[13]. Meminta tolong kepada orang-orang yang telah mati, menyeru mereka, dan beristighatsah kepada mereka adalah salah satu bentuk kesyirikan kepada Allah. Begitu juga kepada orang-orang yang hidup yang ia tidak mampu melakukannya kecuali Allah Ta’ala.
[14]. Orang yang terbaik pada ummat ini –setelah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam- adalah Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Utsman dan disusul oleh Ali Radhiyallahu Anhum Ajmain.
[15]. Satu orang Nabi adalah lebih utama dari semua para wali.
[16]. Beriman kepada semua kitab-kitab yang diturunkan dari sisi Allah. Al-Qur`an adalah kitab yang paling utama dibanding yang lainnya. Ia adalah penghapus untuk semua kitab-kitab yang ada sebelumnya. Semua kitab yang datang sebelum Al-Qur`an telah di putarbalikkan serta dirubah isinya. Sedang Al-Qur`an maka Allah benar-benar telah menjaganya baik lafadh maupun maknanya. Allah Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.’ [QS. Al-Hijr:9]
[17]. Tidak ada seorangpun yang mengetahui yang ghaib melainkan Allah semata. Ia Ta’ala terkadang menyingkapkan ilmu ghaib kepada sebagian rasul-rasulnya, berdasarkan pada firman Allah, ‘[Dialah Tuhan] Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang di ridhai-Nya.] [QS. Al-Jîn: 26]
[18]. Mendatangi dukun, tukang ramal, dan para dajjal adalah termasuk dari salah satu dosa besar. Meyakini kebenaran mereka adalah bentuk kekufuran kepada Allah.
[19]. Kita tidak diperbolehkan bercerai berai dalam agama ini dan tidak boleh pula mengobarkan fitnah antar sesama muslim. Apa yang kita perselisihkan maka harus dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta apa yang telah di tempuh oleh salaful ummah. [Dikutip dari Mashâbih Adhâ’at Lan Ath-Tharîq oleh Syaikh Shafwât Asy-Syawadfi hal.15-18].
Jember, 1432 H.
Abu Halbas Muhammad Ayyub
_______
sumber: bejanasunnah
Jawab:
Aqidah menurut bahasa berasal dari kata Al-‘Aqdu yang berarti ikatan dan At-Tautsîqu yang berarti kepercayaan/keyakinan kuat.
Sedang menurut istilah, aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya.
# Tiga Penopang
Agama kita ini tegak diatas tiga penopang, yaitu; Aqidah yang shahih [benar], ibadah yang masyrû’ [disyariatkan], dan akhlaq yang fâdhilah [mulia lagi utama].
Aqidah yang shahih adalah aqidah As-Salafush Shalih. Sedang As-Salafus Shalih sendiri adalah para shahabat yang mulia dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan cara yang baik.
Ibadah yang masyrû’ adalah ibadah yang tegak diatas dalil yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih dan bukan ibadah yang dibuat-buat [bid’ah].
Sedang Akhlak yang fâdhilah adalah semua budi pekerti yang mulia yang syariat menyeru kepadanya, mendorong untuk melakukannya dan memerintahkan untuk menerapkannya.
Tiga masalah diatas bukanlah hanya sekedar pengetahuan umum belaka tetapi ia adalah sebab-sebab keselamatan didunia dan akhirat dan merupakan jalan yang menghubungkan kepada Allah Ta’ala.
# Inilah Aqidah Kita
[1]. Beriman kepada Allah Ta’ala, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada Qadar baik dan buruk.
[2]. Diantara bentuk keimanan kepada Allah Ta’ala adalah beriman kepada apa yang ia sifatkan atas diri-Nya sebagaimana yang terdapat didalam Kitab-Nya dan apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam tanpa tahrif [merubah lafadh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya], tanpa ta’thil [menghilangkan dan menafikkan sifat-sifat Allah Ta’ala atau mengingkari seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah Ta’ala.], tanpa takyif [yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan, ‘Bagaimana sifat Allah itu?’], tanpa tamtsil [mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya]. Bahkan sebaliknya kita beriman bahwa Allah tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Kita tidak menafikkan apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya, dan kita tidak menyerupakan-Nya dengan satupun dari makhluk-Nya.
[3]. Al-Qur`an adalah kalamullah yang diturunkan dari sisi-Nya dan Al-Qur`an bukanlah makhluk. Al-Qur`an berasal dari-Nya dan kepada-Nya akan kembali.
[4]. Diantara bentuk beriman kepada hari Akhir adalah beriman kepada apa yang akan terjadi setelah kematian berupa fitnah kubur, siksa dan kenikmatannya, kebangkitan setelah kematian, beriman kepada adanya Al-Haudh [telaga air yang turun dari sungai surga pada hari kiamat yang diperuntukkan bagi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam], Al-Mizan [timbangan untuk menimbang amalan hamba-Nya], Ash-Shirath [jembatan yang bentangkan di atas Neraka Jahannam yang akan dilewati ummat manusia], Surga dan Neraka.
[5]. Iman itu mencakup perkataan dan perbuatan. Bahwa iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiyatan.
[6] Kita tidak menvonis kafir kepada seorang muslim yang melakukan kemaksiyatan sekalipun ia melakukan dosa besar.Namun sebaliknya kita berkata, ‘Ia adalah orang yang kurang imannya[Nâqishul Iman]’ atau kita katakan, ‘Ia beriman dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besar yang ia lakukan. Barangsiapa yang bertaubat maka Allah akan memberikan taubat kepada-Nya. Dan barangsiapa yang mati tanpa bertaubat [sedang ia seorang muslim] maka ia berada dibawah kehendak Allah Ta’ala, jika Allah mau maka Allah mengazabnya dan jika Allah mau maka Allah mengampuninya.
[7]. Kita mencintai shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam beserta Ahlul Baitnya. Kita menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara para mereka. Kita beriman bahwa mereka memiliki keutamaan dan amal-amal shalih yang mana hal itu dapat menghapuskan kesalahan yang muncul dari mereka. Dan siapa saja menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu beriman kepadanya dan mati dalam keadaan seperti itu maka ia lebih utama dari semua Tabi’in yang datang setelahnya.
[8]. Kita membenarkan karamah para wali-wali dan kejadian luar biasa yang terjadi di tangan mereka. Sedang wali itu adalah setiap yang beriman lagi bertakwa. Dan kita mewaspadai wali-wali syetan serta kejadian luar biasa yang terjadi ditangan mereka yang bersumber dari tipu daya syetan. Sedang mereka itu mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman.
[9]. Kita berpegang teguh pada As-Sunnah dan kita mengajarkannya kepada segenap kaum muslimin. Kita memerangi bid’ah dan menjelaskan hakikatnya sehingga kaum muslimin dapat mewaspadainya.
[10].Kita tidak memberikan kesaksian kepada seseorangpun bahwa ia berada di syurga dan begitu juga kita tidak menvonis kepada seseorangpun bahwa ia adalah ahli neraka kecuali apa yang dikhabarkan oleh nash-nash syariat berupa persaksian masuk syurga atau masuk neraka.
[11].Kita berharap bagi orang-orang yang berbuat baik dari kaum muslimin mati dalam keadaan Husnul Khâtimah. Dan kita mengkhawatirkan pelaku kemaksiyatan dari kaum muslimin mati dalam keadaan Su`ul Khâtimah.
[12]. Surga dan Neraka adalah dua makhluk yang tidak akan binasa. Syurga adalah tempat bagi wali-wali Allah sedang neraka adalah balasan untuk musuh-musuh-Nya.
[13]. Meminta tolong kepada orang-orang yang telah mati, menyeru mereka, dan beristighatsah kepada mereka adalah salah satu bentuk kesyirikan kepada Allah. Begitu juga kepada orang-orang yang hidup yang ia tidak mampu melakukannya kecuali Allah Ta’ala.
[14]. Orang yang terbaik pada ummat ini –setelah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam- adalah Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Utsman dan disusul oleh Ali Radhiyallahu Anhum Ajmain.
[15]. Satu orang Nabi adalah lebih utama dari semua para wali.
[16]. Beriman kepada semua kitab-kitab yang diturunkan dari sisi Allah. Al-Qur`an adalah kitab yang paling utama dibanding yang lainnya. Ia adalah penghapus untuk semua kitab-kitab yang ada sebelumnya. Semua kitab yang datang sebelum Al-Qur`an telah di putarbalikkan serta dirubah isinya. Sedang Al-Qur`an maka Allah benar-benar telah menjaganya baik lafadh maupun maknanya. Allah Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.’ [QS. Al-Hijr:9]
[17]. Tidak ada seorangpun yang mengetahui yang ghaib melainkan Allah semata. Ia Ta’ala terkadang menyingkapkan ilmu ghaib kepada sebagian rasul-rasulnya, berdasarkan pada firman Allah, ‘[Dialah Tuhan] Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang di ridhai-Nya.] [QS. Al-Jîn: 26]
[18]. Mendatangi dukun, tukang ramal, dan para dajjal adalah termasuk dari salah satu dosa besar. Meyakini kebenaran mereka adalah bentuk kekufuran kepada Allah.
[19]. Kita tidak diperbolehkan bercerai berai dalam agama ini dan tidak boleh pula mengobarkan fitnah antar sesama muslim. Apa yang kita perselisihkan maka harus dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta apa yang telah di tempuh oleh salaful ummah. [Dikutip dari Mashâbih Adhâ’at Lan Ath-Tharîq oleh Syaikh Shafwât Asy-Syawadfi hal.15-18].
Jember, 1432 H.
Abu Halbas Muhammad Ayyub
_______
sumber: bejanasunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar